Saturday, June 20, 2009

Pengajaran Teori Hipersensitivitas Tipe III T.Mudwal (The Reason Why You Give Corticosteroid in Dengue Hemorrhagic Fever)

Pengajaran Teori Hipersensitivitas Tipe III T.Mudwal

(The Reason Why You Give Corticosteroid in Dengue Hemorrhagic Fever)

I.PENDAHULUAN DAN EPIDEMIOLOGI

Lebih 300 tahun virus dengue diperdebatkan para ahli kesehatan dunia, yaitu sejak Bylon mencoba mengurai gejala klinis akibat infeksi dengue di Batavia pada tahun 1779. Bahkan sampai sekarang pun patogenesis dan patofisiologi DBD masih diperdebatkan orang (kontroversial). Debat tentang teori DBD ini masih terjadi oleh karena angka kesakitan DBD yang tinggi begitu juga angka kematiannya (walaupun secara persentasi kecil). Ketidakpuasan akan teori yang ada sekarang semakin bertambah bila efek dari DBD menimbulkan kesengsaraan pada penderitanya sepanjang hidupnya misalnya terjadi trombosit yang rendah seumur hidupnya (penyakit ITP).Hampir semua pasien ITP di Indonesia mempunyai riwayat pernah terkena DBD.Secara teoritis DBD dapat menyebakan terjadinya ITP. WHO mengatakan bahwa angka kesakitan DBD di dunia pada tahun 2008 lebih kurang 50 juta jiwa pada lebih dari 100 negara di dunia yang potensial dapat terjadi DBD (2,5 milyar jiwa). Yang menarik dari laporan WHO itu adalah tidak kritisnya badan kesehatan dunia tersebut terhadap laporan angka kesakitan dan angka kematian yang diberikan oleh negara-negara di dunia. Indonesia misalnya pada tahun 2008 melaporkan bahwa angka kesakitan dari 240 juta jiwa manusia yang semuanya potensial DBD hanya berjumlah 17.604 kasus dengan angka kematian 128 orang. Padahal berdasar estimasi bila minimal 5% saja dari penduduk Indonesia terkena DBD maka angka kesakitan paling sedikit adalh 12 juta jiwa. Dan apabial kita memakai patokan terendah angka kematian DBD 2008 seperti yang dikatakan WHO yaitu 0,2%(dua dari seribu orang penderita DBD mati) maka angka kematian minimal 24.000 orang . Bahkan WHO tidak protes sama sekali pada laporan negara Bangladesh yang mengatakan kematian DBD di Bangaladesh tahun 2008 hanya O%. Berdasar besarnya angka kesakitan seperti yang dikatakan WHO dan kemungkinan besar juga tingginya angka kematian maka WHO menagatakan DBD termasuk MAJOR PROBLEM DISEASES in the world. Dan melihat Indonesia adalah negara terbanyak penderita DBD (berdasar estimasi )dan masih kontroversialnya penyakit DBD dalam segala aspeknya, sudah sepantasnya para ilmuwan Indonesia untuk berani mengeluarkan pendapat dan mencoba mengatasi masalah DBD ini berdasarkan penelitian-penelitian yang mereka temukan.

WHO (2008) :- Sakit : 50 juta orang

- + : 0,2% - 1% (100.000-500.000 jiwa)

- Endemik (KLB) : + 3% - 5% (300.000-2,5 juta jiwa)

- Populasi : 2,5 milyar jiwa (> 100 negara di dunia)

- Indonesia : Sakit : 17.604 kasus?

+ : 0,73% (128 pasien)?

Estimasi Indonesia : - Sakit : 5% populasi 12.000.000 jiwa

- + : 2 orang dari 1000 pasien DBD (0,2%)= 24.000(2008)

MAJOR PROBLEM DISEASES IN

THE WORLD







II.Patogenesis dan Patofisiologi DBD

Setelah virus dengue masuk ke dalam darah, maka secara cepat sistem imunitas non spesifik kita yaitu interferon akan bereaksi. Interferon adalah bagian dari sitokin. Sitokin adalah peptide yang dihasilkan oleh sel limfosit, makrofag, granulosit dan sel endotel. Fungsi interferon adalah merangsang aktifitas sel Killer dan natural Killer untuk memfagosit virus secara langsung. Sel Killer dan natural Killer juga termasuk sistim imunitas non spesifik. Sel Killer dan natural Killer sebenarnya adalah sel limfosit yang bukan sel limfosit B atau limfosit T dan bentuknya bergranula besar-besar. Oleh karena itu disebut juga large granular lymphocyt atau sel nol. Sel Killer juga mempunyai kemampuan untuk membunuh virus yang telah berada pada sel targetnya dengan mekanisme ADCC (antigen depending cytotoxik cell). Fungsi interferon lainnya adalah menginduksi sel-sel di sekitar sel yang telah diinfeksi virus untuk resisten terhadap virus itu. Adapun imunitas spesifik akan membentuk antibodi yang akan melapisi virus (tebentuk antigen aantibodi komplek / komplek imun) sehingga akan mudah difagosit oleh sel fagosit dalam hal ini terutama oleh makrofag. Di lain pihak komplek imun itu akan merangsang keluarnya komplemen. Komplemen inilah yang merangsang makrofag untuk beraktifitas memfagosit. Di lain pihak komplemen pun dapat memperburuk keadaan individu dengan keluarnya misalnya komplemen anapylaksin (C₃, C₅A) yang mengakibatkan permeabilitas kapiler yang meningkat. Hal tersebut ditambah dengan plasma leukage (akibat penghancuran komplek imun di sirkulasi akan menyebabkan terjadinya syok pada seseorang. Virus yang berhasil lepas dari sergapan interferon, sel natural killer , sel Killer, antibodI dan fagositosis oleh makrofag yang sehat (yang belum terinfeksi virus dengue) akan masuk ke sel target. Sel target dari virus dengue adalah monosit, makrofag, dan sel Kupfer (bukan trombosit) yang semuanya adalah sel tentara kita. Virus yang berhasil masuk dalam sel target ini pun akan dihancurkan oleh sel cytotoxic (sel Tc) dan sel Killer seperti yang dikatakan di depan.Di sinilah yang menarik dari virus DBD ini ,dia hidup dalam sel tentara kita. Dan ini berarti banyak sekali sel tentara kita yang tewas. Defek dari sel tentara dan jumlahnya yang menurun akan menyebabkan komplek imun menyebar ke seluruh tubuh termasuk juga ke trombosit. Kehancuran jaringan, plasma leukage dan trombositopenia akan terjadi. Ini adalah dasar mengapa T.Mudwal mengatakan bahwa dasar dari patogenesis dan patofisiologi dari DBD adalah hipersensitivitas tipe III. Hanya orang-orang Pasifik Barat dan Asia Tenggara lah yang terutama terkena demam berdarah dengue. Walaupun bukan mustahil dengan kemampuan virus dengue untuk mengubah struktur genetiknya dan terjadinya perubahan struktur genetik pada manusia tertentu, DBD akan menyerang dunia yang lebih luas. Itulah sebabnya mengapa sekarang kita banyak menjumpai orang-orang Amerika, Eropa dan Australia terkena DBD, bahkan hanya dengan satu kali gigitan saja (infeksi primer/IgM positif).


III. Macam-macam Teori Patofisiologi dan Patogenesis DBD

Berdasarkan skema tersebut maka timbullah berbagai macam teori patogenesis dan patofisiologi demam berdarah dengue.

Teori VirulensiVirus

Secondary Heterologous / Infection Enhancing

Antibody dari Halstead

Teori Immunopatology

Teori APOPTOSIS

Teori Antigen Antibody

Teori Mediator

Teori Endotoksin

TEORI HIPERSENSITIVITAS TIPE III dari

T.MUDWAL


A. Teori Virulensi Virus

Virulensi virus adalah penyebab dari segala-galanya. Ada empat macam serotype virus dengue yaitu virus dengue 1,2,3,4. Teori ini menyatakan bahwa keganasan virus lah yang menyebabkan kerusakan jaringan,plasma leakage, trombositopenia dan sebagainya. Untuk di Indonesia diyakini virus dengue 3 lah yang terganas. Thailand virus dengue 2 dan Philiphinna virus dengue 3 dan 4.

Kelemahan teori ini adalah:

1. Sering terjadi bahwa infeksi oleh virus yang dianggap ganas tapi hanya 1 kali gigitan (igM +) memberikan gejala klinik yang lebih ringan daripada infeksi virus yang tidak ganas dengan beberapa kali gigitan walaupun dengan serotipe virus yang berlainan.

2. Sering ditemui bahwa pasien yang secara teoritis mempunyai imunitas yang rendah seperti gizi buruk,usia tua memberikan gejala klinik yanglebih ringan walupun diinfeksi oleh virus dengue yang dianggap ganas berkali-kali,bahkan dari serotipe yang berlainan. Dalam kenyataan hampir tidak pernah kita temui penderita usia tua(>60tahun) mempunyai gejala klinik DBD yang berat.

3. Orang-orang dengan ras tertentu tidak terkena DBD walaupun tinggal di daerah endemik yang banyak nyamuk Aedes Aegypty. Sehingga teori ini tidak dapat menjelaskan kenapa DBD terutama menyerang Asia Tenggara dan Pasifik Barat bukan Amerika,Eropa dan Australia.

B. Teori Secondary Heterologous Infection / Infection Enhancing Antibody Halstead

Teori ini ditemukan oleh Halstead pada tahun 1970an. Dasar teori ini bahwa seseorang baru terkena penyakit DBD bila terinfeksi virus dengue minimal dua kali dari tipe virus yang berbeda (terbentuk antibodi non neutralizing). Antibodi non neutralizing akan menyebabkan virus mudah masuk dalm sel target dan terjadi penyebaran komplek imun. Sedangkan apabila hanya terinfeksi oleh virus satu kali saja seseorang tidak akan menderita DBD sebab yang terbentuk adalah antibodi neutralizing. Antibodi neutralizing sebenarnya adalah IgM sedangkan antibodi non neutralizing adalah IgG. Kelihatannya Halstead pada tahun 70an itu memperhatikan bahwa semua penderita yang terkena DBD IgGnya positif. Sedangkan yang IgGnya negatif tidak menderita DBD. Teori ini yang paling banyak dianut pada saat ini.

Kelemahan teori ini :

1. Secara teoritis pembentukan antibodi sebenarnya untuk memudahkan fagositosis dari sel makrofag. Oleh karena itu suatu keanehan bila setelah terbentuk antibodi IgG virus justru mudah untuk masuk ke sel target dan bereplikasi .istilah neutralizing dan non neutralizing tidak ada pada textbook alergi dan imunologi Kalaupun kita ingin mengatakan bahwa setelah terbentuk IgG, penyakit DBD akan semakin berat, itu disebabkan oleh disfungsi sel makrofag akibat terinfeksi oleh virus. Sebagai akibatnya komplek imun akan menyebar ke seluruh tubuh dan terjadi kerusakan jaringan yang luas atau syok.Kerusakan jaringan yang luas disebabkan timbulnya sel-sel makrofag baru yang belum terinfeksi virus dengue yang akan memfagositosis seluruh komplek imun yang telah tersebar tersebut . (identik dengan teori hipersensitivitas tipe III yang dikatakan T.Mudwal)

2. Halstead tidak dapat menjawab kenapa sekarang mulai banyak orang terkena DBD hanya dengan satu kali gigitan saja (IgM positif, IgG negatif). Untuk mencobamenjawab ini Halstead mengatakan bahwa seseorang terkena DBD tergantung genetiknya (tidak harus dua kali atau lebih dari gigitan dari nyamuk Aedes Agypti yang membawa virus dengue dari serotipe yang berbeda).Jadi secara tidak langsung teori Halstead tentang secondary heterologous infection telah gugur. Menurut T.Mudwal apa yang dimaksud genetik oleh Halstead adalah sensitif atau tidaknya seseorang terhadap virus dengue. Yang anehnya sampai sekarang hampir seluruh fakultas kedokteran seluruh dunia mengajarkan bahwa seorang baru terkena DBD bila terjadi secondary heterologous infection dari Halstead.

C. Teori Apoptosis

Teori ini menyatakan bahwa beratnya penyakit DBD disebabkan matinya sel secara fisiologis akibat berbagai macam stimuli yang dikeluarkan dari limfosit sitotoksik. Rusaknya sel target, sel endotel, sel trombosit, dsb bukan oleh karena virus yang hidup dalam sel target atau bukan oleh karena fagosit oleh sel makrofag pada komplek imun yang menempel pada sel itu, tapi oleh karena terprogramnya sel-sel itu untuk mati secara sendirinya akibat virus merangsang sel limfosit sitotoksik untuk mengeluarkan granzim dan fragmentin yang akan mengkode kematian.

Kelemahan teori ini :

Teori ini tidak mempersoalkan tentang penyebaran komplek imun yang telah jelas-jelas dibuktikan oleh para peneliti dan mengabaikan kemampuan sel-sel fagosit untuk menghancurkan komplek imun tersebut. Secara garis besar teori ini hampir sama dengan teori virulensi virus, sehingga kelemahan teori ini adalah seperti kelemahan pada teori virulensi virus.

D. Teori Immunopatologi

Teori ini menyatakan bahwa bila seseorang terkena infeksi virus dengue maka hanya ada dua kemungkinan dia menjadi kebal atau menjadi sakit.

Kelemahan teori ini :

Teori terlalu sederhana dan tidak jelas.

E. Teori Mediator/sitokin

Dasar dari penyakit DBD adalah keluarnya sitokin.

Kelemahan teori ini :

Teori ini terlalu sederhana.

F. Teori Trombosit Endotel

Beratnya penyakit DBD ditentukan oleh adanya kerusakan trombosit dan endotel.

Kelemahan teori ini :

Terlalu sangat sederhana.

G. Teori Endotoksin

Endotoksin dari bakteri usus memegang peranan dalam beratnya gejala klinik DBD. Hal ini oleh karena endotoksin akan mengaktifkan kaskade sitokin terutama tumor necrosing factor (TNF) dan interleukin 1 (IL 1). Pada DBD yang syok terdapat 75% endotoksin sedangkan yang tidak syok 60% endotoksin. Pada pendarahan saluran cerna yang berat didaptkan kadar endotoksin yang lebih tinggi dibanding saluran cerna yang ringan walaupun pada kedua hal tersebut jumlah trombositnya sama. Endotoksin dari bakteri usus dapat masuk dalam sirkulasi darah oleh karena terjadinya translokasi bakteri usus ke dalam sirkulasi darah akibat rusaknya lumen usus.

Kelemahan teori ini :

1. Apakah endotoksin yang terukur itu sama efektifnya dengan endotoksin di sirkulasi ? Sebab seperti diketahui endotoksin di sirkulasi dapat dikurangi efeknya oleh tubuh dengan cara mengikat endotoksin-endotoksin tersebut dengan plasma protein seperti transferin ADP dan protein-protein lain. Pada penelitian tersebut pada waktu pemeriksaan endotoksin diberikan PCA (preklorik acid) yang mengandung NaOH sehingga ikatan protein-protein plasma dengan endotoksin tersebut terlepas dan berakibat endotoksin yang terukur itu tinggi. Selain itu efek endotoksin dapat diperlemah/dinetralkan oleh antibodi.

2. Naiknya TNF, IL1, IL6, mungkin bukan oleh karena efek endotoksin tersebut (akibat merusak jaringan) tetapi mungkin oleh karena virus antibodi komplek yang mengaktifasi limfosit T (IL1 , IL6 ) dan mengaktifkan makrofag (TNF )

3. Trombosit yang sama terapi pendarahan yang terjadi pada endotoksin yang lebih tinggi belum tentu karena endotoksinnya atau trombositopenianya sebab hal tersebut hanyalah salah satu faktor yang menyebabkani risiko pendarahan.

4. Teori ini tidak dapat menjelaskan patogenesis dan patofisiologi DBD yang ringan (belum merusak mukosa usus) Sebagai bahan pertimbangan di RSCM pernah dibuktikan bahwa angka mortalitas dan saat morbiditas tidak berebda bermakna pada pasien kanker dengan sepsis dan endotoksin tinggi ketimbang pasien kanker dengan sepsis dan endotoksin rendah.

H. Teori Hipersensitivitas tipe III T.Mudwal

Dasar reaksi hipersensitivitas tipe III adalah menyebarnya komplek imun ke seluruh bagian tubuh akibat disfungsi sel fagosit/makrofag. Komplek imun yang telah menyebar ke jaringan dan sirkulasi ini dapat dihancurkan oleh sel fagosit lain dalam hal ini makrofag yang belum terinfeksi oleh virus atau kuman tertentu (sel fagosit yang sehat). Hal ini dapat dilihat misalnya oleh infeksi streptococcus golongan A yang dapat menyebabkan inflamasi dan kerusakan jantung, sendi dan ginjal. Pada reaksi Hipersensitivitas tipe III dapat terjadi reaksi autoimun yaitu reaksi tubuh untuk menghancurkan tubuhnya sendiri. Hal ini dimungkinkan oleh karena pada setiap manusia terdapat limfosit autoreaktif yang cenderung akan mengadakan reaksi autoimun. Yang bertindak sebagai limfosit autoreaktif adalah limfosit T Helper. Tidak terjadinya reaksi autoimun pada manusia oleh karena adanya mekanisme homeostasis imnoregulator. Limfosit T supressor akan menekan limfosit autoreaktif untuk tidak mengadakan reaksi autoimun. Komplek imun yang menmpel pada sel atau jaringan tertentu merupakan perangsang yang kuat untuk limfosit autoreaktif mengadakan reaksi autoimun.

T.Mudwal mengatakan bahwa dasar patogenesis dan patofisiologi DBD adalah reaksi hipersensitivitas tipe III berdasarkan alasan sebagai berikut :

1. Tidak semua orang atau ras akan terkena DBD.DBD terutama mengenai Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Berarti genetik atau sensitivitas individu paling berperanan ketimbang keganasan virusnya.

2. Jarang dijumpainya pasien usia tua (>60 tahun) yang menderita penyakit DBD berat. Ini menunjukkan bahwa makin kurang imunitas seseorang berarti makin rendah kesensitifannya.

3. Pada umumnya infeksi sekunder atau gigitan nyamuk yang berualng kali menunjukkan gejala klinik yang lebih berat ketimbang infeksi primer atau gigitan nyamuka satu kali saja. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan tempo untuk terbentuknya antibodidan terjadinya reaksi antigen-antibodi.

4. Telah dibuktikan tersebarnya komplek imun pada seluruh jaringan tubuh seperti dinding pembuluh darah, trombosit, pankreas, ginjal, hati dan sebagainya.

5. Diakuinya bahwa sel virus dengue hidup dan berkembang biak dalam sel tentara kita (monosit, makrofag, sel Kupfer). Bukan trombosit sebagai target dari virus dengue.

6. Ditemukannya reaksi autoimun (antibodi trombosit yang positif) pada pasien DBD di 62% sampel penelitiannya. Di mana ini dibuktikan sesuai dengan hasil laboratorium pemeriksaan antibodi trombosit dan adanya pasien-pasien yang mengalami kenaikan dan penurunan tajam dari jumlah trombosit berkali-kali padahal megakariosit sumsum tulang pada saat itu normal. Kenaikan tajam dan penurunan tajam dari jumlah trombosit menunjukkan bahwa antibodi trombosit dapat psitif dan negatif secara cepat dan berulang-ulang.

7. Telah dibuktikan bahwa pemberian tranfusi trombosit tidak memberikan kenaikan jumlah trombosit yang signifikan bahkan pada beberapa pasien terjadi penurunan tajam dari jumlah trombosit.

8. Pemberian steroid dosis imunosupresif dalam hal ini metilprednisolon memberikan hasil yang baik terutama bila diberikan kepada pasien DBD <5. Pada DBD ≥ 5 hari penurunan tajam jumlah trombosit tidak terjadi. Bila keganasan virus sebagai sebab maka pemberian metilprednisolon immunosupressif akan memberikan keburukan pada pasien DBD.

Komentar yang sering diberikan pada teori ini adalah jumlah sampel yang diperiksa hanya sedikit (29 pasien). T.Mudwal menjawab, bahwa perhitungan secara statistik (likelihood ratio) tetap akan memberikan hasil yang sama bila dilakukan dalam jumlah sampel yang lebih besar (P= 0,01850). Dan ini misalnya dibuktikan dengan penelitian tentang adanya antibodi trombosit yang dilakukan oleh bagian Hematologi FKUI bekerjasama dengan lembaga Eiykman pada tahun 2008. Hasil yang didapat adalah antibodi trombosit terbukti positif pada 29 pasien (70%) dari sampel DBD yang mereka teliti (13th Congress of the European Hematology Association, June 12-15 2008). Sebenarnya tanpa dilakukan penelitian ulang apapun, penelitian T.Mudwal ini tetap lebih rasional secara keilmuan dan lebih kuat karena terbukti secara penelitian. 2 teori yang paling banyak dianut yaitu teori virulensi dan teori secondary infection Halstead sebenarnya tidak melakukan penelitian apapun atau penelitian yang sangat sederhana. Teori virulensi hanya mengamati pasien-pasien DBD dengan gejala klinik berat dan mengisolasi virus pada pasien itu. Begitu juga dengan teori Halstead yang hanya menemukan bahwa pasien yang menderita penyakit DBD ternyata hampir seluruhnya terdapat igG positif yang dikatakannya adalah antibody non neutralizing.


IV. Efek metilprednisolon imunossupresif terhadap patogenesis dan patofisiologi DBD

Akan terjadi penekanan pada seluruh sistem imun yang melawan virus dengue.

Skema dari efek metilprednisolon imunosupresif terhadap patogenesis dan patofisiologi DBD

STEROID DOSIS IMMUNOSUPRESIF (METIL PREDNISOLON > 1mg/kg BB/Hr)

Pada saat pasien telah didiagnosa DBD semua reaksi Immunologis telah terjadi. STEROID DOSIS IMMUNOSUPRESIF MENCEGAH BERKEPANJANGANNYA REAKSI IMMUNOLOGIS TERSEBUT

Akibat Steroid Dosis Immunosupressif


Virus berhasil langsung masuk ke dalam sel target (Monosit, Makrofag, Sel Kupfer), tetapi jumlah kematian sel monosit, makrofag, sel Kupfer berkurang. Hal ini oleh karena sel-sel tersebut gagal mendekati virus dengue sehingga virus dengue sulit untuk dapat masuk kedalam sel tersebut. Apabila virus dengue berhasil masuk kedalam sel targetnya, virus tetap akan mati. Bukan oleh karena fagosit dari sel Tc atau sel Killer (dimana keduanya juga ikut tersupresi akibat metilprednisolon dosis tinggi) tetapi oleh karena miliu dari sel target virus tersebut (sel makrofag manusia/monosit/Kupfer) tetap bukan miliu yang baik untuk perkembangan virus ketimbang virus itu hidup dalam sel targetnya di dalam tubuh kuda atau kera (manusia bukanlah hospes definif untuk virus dengue). Yang jelas efek penghancuran imun komplek yang tersebar pada seseorang tidak terjadi.

V. Efek metilprednisolon imunosupresif pada lama trombositopenia.

EFEK METILPREDNISOLON IMUNOSUPRESIF

PADA LAMA TROMBOSITOPENIA

DEMAM < 5 HARI → Lama trombositopenia berkurang.

DEMAM > 5 hari → Lama trombositopenia bertambah sedikit tetapi tidak terjadi penurunan tajam dari jumlah trombosit dan kemungkinan terjadinya trombositopenia yang berkepanjangan atau seumur hidup (ITP) berkurang

GRAFIK PENURUNAN TAJAM JUMLAH TROMBOSIT PADA SEBAGIAN PASIEN DBD.

5 hal yang menyebabkan kegagalan pemberian steroid pada DBD yaitu:

1. Dosis yang digunakan bukan dosis imunosupresif dan tipe steroid yang diberikan bukan golongan steroid kuat tetapi steroid lemah seperti hidrokortison.

2. Pemberian steroid sudah terlambat seperti sudah terjadi syok atau DBD > 5 hari.

3. Steroid jangan diberikan kepada pasien yang terbukti terjadi pendarahn gastrointestinal (melena).

4. Steroid akan kurang berefek bila diberikan kepada DBD 5 hari dengan antibodi trombosit(-).

5. Adanya pendarahan yang tersembunyi seperti hematuria atau menstruasi.


VI. Masalah vaksinasi pada DBD


Bahaya pada tahap awal vaksinasi maksudnya adalah akan memudahkan terjadinya reaksi sensitifitas pada orang tersebut sehingga menderita penyakit DBD. Sedangkan pada tahap selanjutnya kekacauan dari sistem imunitas kita akan berkurang. Kekacauan dalam sistem imunitas yang berkurang itu misalnya kecepatan sistem imunitas non spesisifik dan spesifik dalam menghamtam virus akan lebih cepat dan lebih kuat. Begitu juga dengan kecepatan pembentukan makrofag baru akan lebih cepat. Kekacauan sel limposit autoreaktif yang menginjus terjadinya antibodi trombosit tidak terjadi. Meskipun demikian gejala klinik dalam tahap yang ringan seperti sakit kepala,ngilu tulang,pegal-pegal,badan panas dapat saja terjadi. Karena itu penyakit DBD merupakan penyakit dengan fenomena gunung es. Dimana puncaknya adalah pasien-pasien yang trombositnya lebih kecil atau sama dengan 100.000/mm3 sehingga didiagnosa terkena DBD.

Untuk Indonesia vaksinasi percuma saja, sebab nyamuk Aedes Aegypty dengan virus denguenya hampir terdapat diseluruh wilayah Indonesia.


VII. Masalah penyebab trombositopenia pada DBD



-Trombositopenia yang disebabkan produksi trombosit turun oleh karena penekanan megakarosit sumsum tulang hanya terbukti pada demam < 5 hari dan hanya faktor nomor 4 secara statistik setelah penghancuran komplek imun yang menempel pada trombosit di sirkulasi, antibodi trombosit dan DIC tak terkompensasi. Sebelum teori hipersensitifitas tipe III diciptakan, para pakar DBD masih mengakui bahwa trombositopenia < style=""> biopsi sumsum tulang dilakukan pada pasien-pasien demam berdarah yang belum tentu oleh karena virus dengue dan tidak dilakukan analisa regresi multipel terhadap faktor lain yang berperanan pada trombositopenia. T.Mudwal adalah yang pertama di dunia yang melakukan biopsi pada sumsum tulang pasien DBD dewasa yang benar-benar terbukti demam berdarah dengue (gejala klinik DBD positif sesuai WHO, tes panbio positif, IH tes positif atau presumtif positif).

HASIL PENELITIAN TENTANG PENYEBAB TROMBOSITOPENIA

A. Faktor – faktor yang berperanan untuk menyebabkan trombositopenia pada kelompok demam/ sakit < 5 hari.

secara berurutan adalah:

1. Reaksi imunologis untuk menghancurkan komplek imun yang menempel pada trombosit di sirkulasi darah.

2. Antibodi trombosit

3. DIC tak terkompensasi

4. Penurunan megakarosit sumsum tulang

B. Penyebab trombositopenia kelompok demam / sakit > 5 hari adalah aktifitas RES, DIC tak terkompensasi dan antibody trombosit dengan urutan kekuatan pengaruh sebagai berikut :

1. Aktivitas RES

2. DIC tak terkompensasi

3. Antibodi trombosit

C. Dari A dan B terlihat bahwa proser diferifer lebih berperanan dalam menyebabkan trombositopenia daripada supresi sumsum tulang, baik pada demam < 5 hari atau 5 hari.



KESIMPULAN

- Teori Hipersensitifitas tipe III T.Mudwal merupakan teori yang paling kuat untuk menjelaskan patogenesis dan patofisiologi demam berdarah dengue.

- Apabila ini diyakini maka metilprednisolon dosis imunosupresif dengan maksimal pemberian 5 hari harus secepatnya diberikan pada pasien DBD 5 hari apabila trombosit terlalu lama naik atau terjadi penurunan tajam dari jumlah trombosit pada pemantauan berkala .

- Pemberian metilprednisolon dosis imunosupresif berdasar teori hipersensitifitas tipe III T.Mudwal diharapkan dapat mengurangi jumlah penderita ITP akibat DBD.

- Informasi lanjut klik

www.dhf-revolutionafankelijkheid.net

www.dhf-revolution.blogspot.com



KEKERAS KEPALAAN ANDA HANYALAH AKAN MENAMBAH KEMATIAN DAN MUNGKIN KUTUKAN